beberapa waktu lalu saya sempat membaca salah satu tulisan dari seorang wanita diplomat Indonesia yang bercerita tentang wanita dan pekerjaan, dan kenyataan tentang ketidaksetaraan gender ternyata masih begitu menyengat sampai hari ini.
bukan tentang regulasi, yang membuat ketidaksetaraan itu disebut menyengat, melainkan anggapan dan pandangan masyarakat yang membuat ketidaksetaraan itu yang kian menyengat.
karena dalam hal pekerjaan sepertinya lelaki beserta egonya lebih berhak menjadi prioritas, tidak heran banyak dari wanita yang mengambil jalan aman dengan bersandar sepenuhnya kepada penghasilan lelaki pun beserta seluruh gaya hidupnya. dan sering kali wanita wanita ini disebut sebagai wanita matrealistis. lagi lagi wanita yang disalahkan.
saya adalah seorang wanita dan saya bekerja. saya bekerja di bidang yang didominasi oleh kaum adam dalam rimba dunia konstruksi. debu proyek, semen cor cor-an dan alat berat adalah bagian dari hari hari saya.
anggapan masyarakat yang mengkotak kotaki bahwa wanita itu lebih baik di rumah saja atau mengambil pekerjaan yang ramah lingkungan seperti menjadi guru dan ibu rumah tangga cukup membuat saya jengah. memangnya, apa salahnya dengan wanita yang bekerja di proyek?.
nasib setiap orang itu tidak berbanding lurus dengan anggapan dan pandangan masyarakat, sayangnya. saya yang dilahirkan dengan ayah yang seorang insinyur sipil dan menekuni bidang itu sampai hari ini tanpa sadar sudah merasuki bawah sadar saya untuk juga bergabung dengan dunia ini yang ditandai dengan passion dalam dunia ini. intinya, saya mencintai dunia konstruksi.
lalu, salah Tuhan menciptakan saya dengan kecintaan atas dunia konstruksi?.
yang saya tidak mengerti kenapa wanita dalam hal ini di diskreditkan seminim itu. pertanyaan selanjutnya, salahkah jika kami, -wanita wanita yang tidak seperti anggapan masyarakat sebagai wanita yang baik- untuk memiliki cita cita diluar ibu rumah tangga dan guru?.
saya adalah seseorang yang membenci wanita wanita jahat yang sering disebut matrealistis, hanya karena mereka tidak biasa membiayai diri mereka sendiri. i can finance my self and i proud of it.
lelaki, bukankah kalian tidak suka dengan wanita yang hanya bisa menghabiskan penghasilan kalian, setelah kalian lelah sebulan bekerja?.
negara ini sepertinya sudah mencetak populasinya untuk berpikir patriarkis, yang menurut saya terlampau patriarkis. bagi pakem negeri ini bahkan sudah mencetak keterbatasan yang luar biasa bagi wanita, bahkan mengambil dan mengeksekusi keputusannya sendiri adalah sebuah hal yang mewah.
apa yang lebih sakit dari dipaksa mundur dari hal yang bahkan tidak lain adalah hidupnya sendiri?. saya pernah dipaksa oleh seseorang yang bukan siapa siapa saya dan dia sudah merencanakan untuk merampas hidup saya kalau memang diantara kami terjadi sebuah pernikahan. bukan hal yang buruk untuk menjadi ibu rumah tangga, hanya saja itu harus dilakukan dengan keputusan sadar, tanpa tendensi dan merdeka. dan untuk saya, itu sakitnya luar biasa.
saya tidak mengerti apa yang melatarbelakangi lelaki sering melakukan itu. bukan hanya saya, tetapi banyak wanita yang mengalami hal yang sama dengan saya diluar sana. kalau memang tidak sebidang, kenapa harus memaksa bersama?. kalau memang tidak berniat untuk memahami dan mencoba mengerti, kenapa memilih untuk menyakiti?.
kebebasan perempuan dalam mewujudkan cita cita terlalu terpenjara dalam kerangka sosial yang patriarkis dan tuntutan harus melepaskan feminitas hanya untuk menghargai cita cita wanita yang sayangnya tidak linier dengan anggapan masyarakat, wanita harus menelan resiko mendapat stempel tidak berbakti dan menyalahi kodrat, hanya karena cita citanya.
hidup sendiri memang sepi. mengambil keputusan sendiri dalam menjalani hari hari sendiri memang membawa kita pada tahap merasa hampa. tetapi, apa salahnya dengan berkomitmen pada cita cita dan berjalan bersama tanpa harus mengancam untuk meninggalkan?.
ketika lelaki berinisiatif untuk memukul mundur wanita dari hidupnya sendiri, mungkin perlu bertanya lagi, siapa sebenarnya yang dia cintai?. atau hanya seperti pecinta dalam ilusi, mengaku mencintai setulus hati padahal hanya memikirkan diri dan kebahagiaan sendiri?.
bukankah merebut hal yang disebut hidupnya sendiri itu adalah sebuah pencideraan mental?. kalau memang iya, kenapa masih memaksa bersama?.
yang saya tau, mencintai itu bukan tentang pemenangan ego sendiri.
jika memang wanita-mu bukan seperti yang kamu rencanakan, relakan saja. relakan. jangan menyakiti hanya karena tidak sepaham. jangan lebih menyakiti, karena tanpa ego-mu, wanitapun sejatinya masih tidak merdeka karena kerangka sosial patriarkis yang masih setia menaungi pandangan negeri ini.
Tue, 1 July '14
Fatimah Fauzan