Monday, October 27, 2014

Spring Rain.


ia masih menunggu. mengetuk ngetuk meja dengan kopi yang sudah mulai dingin. kemudian ia menatap jendela kaca setinggi 2,5 meter yang masih menunjukan pemandangan hujan sore itu. menunggu tidak pernah menyenangkan, apalagi disertai dengan keharusan merasakan perih.


jam tangan klasik dengan italian leather yang melingkari pergelangan tangannya sudah menunjukan pukul 18.00. sudah terlambat satu jam, tetapi dia tetap menunggu. "mungkin dia terjebak macet karena hujan, jam pulang kantor selalu saja menyebalkan, kan?.". pikirnya sederhana. ia lalu kembali meminum kopinya yang sudah menjadi semakin dingin.

"sejak kapan cappucino ini terasa pahit?." batinnya heran.

"ah, sudahlah." pikirnya getir.

lelaki itu memasuki ruangan. rambutnya terlihat agak basah, mungkin terkena hujan di perjalanannya dari parkiran menuju meja dimana dia sekarang.

"maaf, aku terlambat."


***


aku hanya diam. tidak juga mencoba menebak nebak alasannya. aku sudah cukup tau alasannya setiap kali dia terlambat.

aku menyodorkan berkas berisi data yang ia minta. mungkin jika masih ada orang lain yang bisa dia mintai tolong akan perkara ini, dia tidak perlu repot repot harus datang kepadaku.

dia tidak segera pergi. aku kembali meminum kopiku. kenapa kopi ini semakin pahit?.

aku semakin tidak peduli, kami sama sama terdiam, dan dia tidak juga terlihat ingin buru buru pergi. 

sial, sore ini menjadi semakin menyesakkan. 

"kenapa kamu menghindariku, Harumi?. bisakah kita kembali baik baik saja?."

aku hanya diam. semakin terdiam mendengar pertanyaannya. "kenapa kamu masih menanyakannya, Ren?."


"atau.. bisakah kita kembali menjadi teman?."

aku menarik nafas panjang.

"aku hanya menghormati keputusanmu, Ren. memang hak mu untuk memilih yang kamu anggap lebih baik dariku. bahkan ketika kita sedang ada hubungan, dengan sadarmu kamu meninggalkan aku. aku pikir kita selama ini baik baik saja dan aku masih tidak mengerti tentang keputusan irasionalmu itu. kecuali memang kamu menganggap hubungan antara aku dan kamu ini memang tidak pernah ada sejak awal. terima kasih, dari awal harusnya aku sadar bahwa kita memang tidak ada apa apa, dan memang bagimu aku bukan apa apa. kamu sudah memutuskan untuk memilih Aira dan meninggalkanku, itu keputusanmu. aku hormati itu. dan aku mohon, mungkin kamu bisa menghormati keputusanku bahwa mulai saat itu bagiku, kamu tidak pernah ada."

aku berdiri dan mengambil kunci mobil yang tergeletak di meja. hujan sudah berubah menjadi rintik rintik kecil. aku berjalan menuju parkiran. yang kusadari, ada rintik yang menetes dari kedua mataku. aku hanya tidak ingin menangis didepannya.