Siang itu, saya baru saja menyelesaikan tugas yang dari yang tercinta mata kuliah Mekanika Teknik. Dalam keadaan rumah, rambut dan segalanya berantakan saya menyelesaikan tugas super penting itu. Rumah bisa di bereskan, mandi bisa nanti yang penting sakit kepala karena tugas ini harus di selesaikan lebih dulu. Sakit kepala ini lebih mendesak untuk di tangani daripada apapun. Sakit kepala karena tugas dari mata kuliah nyawa untuk urusan teknik sipil ini sudah memporak porandakan jam tidur dan sudah berhasil bikin melek di jam jam ngga’ wajar, hanya karena tugas ini begitu menuntut minta di selesaikan.
Saya terduduk, memandangi tulisan yang masih bisa dibaca aja
udah sukur untuk tugas laknat itu. Dari semester awal, masih lucu dan baru aja
kenalan sama sakit kepala mekanika teknik sampe semester akhir, ketika tugas
akhir dan toga mulai memanggil tetap saja urusan dengan mekanika teknik atau
apalah itu pengembangannya. Selalu saja bertemu dengan reaksi perletakan.
Menghitung apapun selalu di mulai dari perletakannya.
Dalam mekanika teknik, ada tiga jenis perletakan : sendi,
roll dan jepit. Anak teknik sipil semester awal pasti belajar ini. Dan
segalanya butuh perletakan. Mungkin orang lebih mengenal dengan sebutan pondasi
–perletakan jepit pada bangunan gedung- padahal pada sambungan jembatan rangka
juga kita butuh perletakan sendi untuk meletakkan rangka rangka jembatan di
sudut sudut tiap pertemuan yang kemudian di kuatkan dengan baut.
Saya sadar sebegitu pentingnya dan selalu adanya sebuah
perletakan. Pantas saja dalam menghitung apapun, gedung, jembatan apapun yang
disebut bangunan selalu yang di hitung perletakannya dulu. Dan satu hal yang
saya juga baru sadar dari berkutat dengan sebegini rumitnya persoalan mekanika bahwa
hidup juga butuh perletakan.
Saya merenung. Jika dalam mekanika teknik perletakan itu ada
tiga, sendi roll dan jepit maka dalam hidup perletakan juga ada tiga,
tempat tinggal pasangan hidup dan sumber keuangan.
Hidup itu harus di tata. Kata guru saya. Awalnya saya ngga’
paham tetapi mekanika teknik sudah membantu memberikan saya pencerahan, bahwa
penataan hidup sama halnya seperti perletakan.
Apapun yang kita lakukan harus mendukung tiga pilar penting
itu.
Ini bukan hal yang bisa di anggap remeh. Saya mengenal
seseorang yang dalam umurnya yang tidak lagi bisa dibilang sedikit tidak
memikirkan apapun tentang perletakan hidupnya. Berantakan dalam pekerjaan,
tidak benar benar memikirkan pasangan hidup dan bingung ketika ditanya soal
tempat tinggal.
Jika kamu sekarang adalah seorang mahasiswa, belajarlah yang
sungguh sungguh. Pilih jenis karirmu dengan baik dan mulai pikirkan tentang
tempat tinggal dan pasangan hidup. Selama saya menjadi mahasiswa ekstensi saya
bertemu dengan banyak teman teman yang mengagumkan dalam memikirkan hal hal
krusial ini. Di umur mereka yang masih terbilang muda sekitar 23-26tahun,
memiliki pekerjaan yang melegakan dan mereka mulai mengurusi masalah tempat
tinggal.
Beda orang, ya beda strategi. ada seorang teman yang bekerja
di BUMN dan karena masih melajang dia berfikir untuk mengambil KPR rumah karena
jika lajang maka di permudah. Ada seorang teman yang bekerja di sebuah
perusahaan kontraktor, rutin menyisihkan uang kemudian di belikan tanah, dan
sekarang rumahnya sudah jadi. Walaupun saya tau sekitar dua tahun dia
menyelesaikan pembangunan rumah itu. Adanya uang sekian, ya mampunya bangun
pondasi dulu. Kemudian di pending, karena dana terbatas. Setelah ada dana
melanjutkan membangun rumah, membangun apa yang bisa di bangun. Ada juga
seorang teman yang kebetulan di kasih tanah sama papanya, kemudian melakukan
hal yang sama, membangun sedikit sedikit rumah tersebut. Biar dikit tapi
lanjut, begitu katanya.
3 teman laki laki yang berbeda, menyikapi masa depan dengan
caranya sendiri sendiri tapi punya 1 kesamaan ; sama sama fokus untuk peletakan
hidupnya. Tidak masalah jika kamu saat ini masih belum seperti mereka. Tetapi
jika kamu memikirkan ini dengan sungguh sungguh, Tuhan pasti kasih jalan.
Saya mengagumi apa yang mereka lakukan, apa yang mereka
pikirkan. Mungkin menjadi dewasa itu ya seperti itu. Berpikir lebih untuk hal
yang tidak bisa di anggap main main. Begitu juga mereka tentang pasangan hidup.
Mungkin ada batasan umur dimana kita sudah seharusnya serius
dan tidak lagi lucu lucuan galau di twitter ala ala anak SMA yang baru punya
KTP. Ketika menjalin hubungan sudah bukan lagi sekedar dia pengundang senyum
apa tidak melainkan apakah yang bersangkutan benar benar se-visi dengan kita
ataukah dia mampu menjadi suami yang baik atau ibu yang penyayang baik anak
anak.
Berat memang jika mau di pikirkan, di saat hati yang masih
sakit ketika tau hanya kita pihak yang berharap. Tetapi memang, hidup selalu
mengenal batas akan segalanya.
Pikirkan karirmu. Pilih benar bener calon pendampingmu dan
sungguh sungguh terhadap hidupmu. Jangan buat semuanya menyesakkan di usia
pertengahan hanya karena kamu yang teledor dalam memikirkan perletakan hidupmu.
Memang agak jengah jika ditanya kapan menikah?. Oleh keluarga besar ketika lebaran
atau kumpul keluarga yang berujung jawaban jawaban lucu yang di jawab sambil
tersenyum getir seperti masih nyaman sendiri, calonnya masih dalam konfirmasi
atau jodohnya masih inden.
Jodoh memang Tuhan yang tentukan. Tapi kamu yang pilih
orangnya. Ngga’ papa belum menemukan, yang penting kamu sungguh sungguh ingin
di temukan. Tidak ada yang salah jika kamu bersungguh sungguh.
Jadi, sudah nyiapin jawaban kalo di Tanya, “kapan nikah?.”
Lebaran besok?.
XOXO,
Fatimah Fauzan